Perspektif Pesimis dan Optimis Transmedia Intertextuality


Transmedia Intertextuality  adalah sebuah teori yang diungkapkan oleh Marsha Kinder (1991) dalam buku Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consequences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. Chapter 3 : CHILDREN AND NEW MEDIA, dimana pernyataan lengkapnya dalam buku tersebut tertulis sebagaimana berikut :

“Games have increasingly been integrated within what Marsha Kinder (1991) calls the ‘transmedia intertextuality’ of contemporary children’s culture”

Dari pernyataan yang diungkapkan oleh Marsha Kinder (1991) di atas dapat diperoleh penjelasan bahwa Transmedia Intertextuality adalah sesuatu yang dimaknai yang kaitannya dengan hal lain (produk lain). Yang diperkuat oleh kajian semotik dari Julia Cristeva yang menyatakan bahwa semua karya didunia ini sesungguhnya adalah lahir karena keterkaitan dengan jaringan sebelumnya atau yang sama dalam tempat yang berbeda.

Dalam konteks kajian kali ini Transmedia Intertextuality kita maknai sebagai sebuah budaya games yang sudah melekat pada anak-anak dimanfaatkan oleh para pemilik modal atau kaum kapitalis untuk melebarkan sayap bisnisnya sehingga lebih mencakup berbagai aspek hiburan lainnya, penerapan Transmedia Intertextuality dapat dilihat dari game populer yang beredar saat ini yang menggunakan karakter dan skenario dari film, sementara disisi lain game juga menghasilkan sebuah fim dan televisi menunjukan hak mereka sendiri, oleh karena itu pelaku industri ini akan mendapat keuntungan berkali lipat, bukan hanya dari games melainkan dari cabang-cabang games itu sendiri seperti film, souvenir games dsb.

Dari pernyataan Marsha Kinder tersebut dan setelah dikupas cukup gamblang sebelumnya, dari situ dapat menimbulkan aspek pro dan kontra atau perspektif optimis dan pesimis dalam menanggapi  perihal adanya Transmedia Intertextuality ini. Perspektif pesimis adanya Transmedia Intertextuality tentunya datang dari perilaku anak-anak sebagai konsumen terbesar hal ini begitu pula dengan orang tuanya. Namun terdapat perspektif optimis pula dimana dengan adanya Transmedia Intertextuality ini dapat meningkatkan nilai jual sebuah produk dan meningkatkan ide dan kreatifitas barang atau jasa komoditas terutama di dunia hiburan.

PERSPEKTIF PESIMIS
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Transmedia Intertextuality memiliki pandangan negatif karena dengan berkembangnya dunia hiburan atau dalam hal ini adalah dunia games yang lekat dengan dunia anak-anak akan mengakibatkan pada perubahan perilaku yang terjadi pada anak-anak. Sesuai pengertian dari Transmedia Intertextuality itu sendiri dimana para pemilik modal atau para kaum kapitalis memiliki kemampuan untuk menawarkan tidak hanya pada games itu saja tetapi pada produk-produk lain. Keterkaitan dunia games dengan dunia real. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan penetrasi budaya tersebut. Akibat tindakan yang diambil para kaum kapitalis ini membuat anak-anak sebagai target utama produk untuk lebih bersikap konsumtif terhadap apapun produk-produk yang berkaitan dengan games yang disukainya. Anak-anak tentunya masih sangat muda untuk mengetahui sampai sejauh ini tentang apa yang sedang mereka hadapi, namun disini berdasarkan aspek psikologis dimana apapun yang menjadi kesukaan dari seorang anak bagaimanapun itu pasti anak tersebut menginginkannya untuk dimiliki, oleh karena itu timbul lah jiwa konsumtif sejak dini pada anak. Perilaku Konsumtif dalam hal ini diartikan sebagai perilaku dimana timbulnya keinginan untuk membeli barang barang yang kurang diperlukan untuk memenuhi kepuasan pribadi. Dalam psikologi dikenal istilah compulsive buying disorder (kecanduan belanja) orang yang terjebak didalamnya tidak bisa membedakan mana kebutuhan dan keinginan.
Selain itu, ketika seorang anak telah masuk kedalam dunia gamesnya maka akan berdampak pula kehidupan sosialnya ke depan. Menurut penelitian yang pernah dipublikasikan dalam jurnal Pediatrics, yang antara lain dilakukan di Seattle Children’s Research Institute (2011), Iowa State University (2010), dan Stanford University School of Medicine (2009), kebanyakan main game bisa mengganggu proses tumbuh kembang anak, antara lain berupa:

- Masalah sosialisasi. Berhubung lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dengan mesin (bukan manusia), si praremaja bisa merasa canggung dan kurang nyaman kala datang kesempatan untuk bergaul dengan temannya.
- Masalah komunikasi. Kegiatan berkomunikasi bukan sebatas berbicara dan mendengarkan kalimat yang terucap, tetapi juga membaca ekspresi lawan bicara. Anak yang kurang sering bersosialisasi biasanya kesulitan melakukan hal ini.
- Mengikis empati. Seringkali anak menyukai jenis game yang melibatkan kekerasan, seperti perang-perangan, martial art, dan sebagainya. Efek samping dari memainkan jenis game ini adalah terpicunya agresivitas anak dan terkikisnya empati si kecil terhadap orang lain.
- Gangguan motorik. Tubuh yang kurang aktif bergerak akan mengurangi kesempatan anak untuk melatih kemampuan motoriknya. Risikonya, anak bisa terserang obesitas dan pertumbuhan tinggi badannya tidak maksimal.
- Gangguan kesehatan. Menatap layar video games secara konstan dalam waktu lama bisa mencetus serangan sakit kepala, nyeri leher, gangguan tidur, dan gangguan penglihatan.

Disini peran orang tua sangat dibutuhkan dalam menyikapi hal ini, orang tua harus dapat menjadi filter bagi anak-anaknya dalam melakukan kegiatan sehari-harinya.

PERSPEKTIF OPTIMIS
Selain memiliki dampak negatif yang sangat terasa pada dunia anak, Transmedia Intertextuality juga dapat menumbuhkan sebuah ide bisnis yang sangat berpotensi bagi para pelaku dunia hiburan. Ketika sebuah produk sudah mulai menemukan penggemar setianya maka para pelaku bisnis ini tidak akan mau kehilangan keuntungan yang didapatnya selama ini seiring dengan berjalannya waktu, maka timbullah ide-ide untuk menarik perhatian para penggemar setianya untuk mengkonsumsi produk mereka lagi namun bukan lagi dalam bentuk yang sama seperti sebelumnya.
Para pelaku bisnis dapat melebarkan sayap bisnisnya ke aspek-aspek lain yang mungkin dari bentuk fisik produknya sangat jauh berbeda dari sebelumnya namun masih memiliki kaitan yang sangat erat yang ditandai dengan ikon-ikon atau tanda-tanda tertentu. Para pelaku industri ini akan mendapat keuntungan berkali lipat, bukan hanya dari games melainkan dari cabang-cabang games itu sendiri seperti film, souvenir games tersebut dsb.
Contohnya dapat kita lihat ketika Indonesia sedang nge-trend permainan Angry bird. Akhirnya, apa yang kita sebut sebagai Transmedia Intertextuality pun terjadi dimana menjamur bukan hanya permainannya saja tetapi sampai kepada produk pakaian, buku, alat makan dan lain sebagainya yang menggunakan ikon permainan tersebut.

Referensi  :
Lievrouw, Leah A. & Sonia Livingstone. 2006, Handbook of New Media : Social Shaping and Social Consequences of ITCs, Sage Publication Ltd. London. Chapter 3 : CHILDREN AND NEW MEDIA


Mutqinul Fahmi / F1C013074
SHARE

Fahmi

Hi, realita itu aneh yah :D

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 Komentar:

Posting Komentar

Budayakanlah membaca dulu sebelum berkomentar dan jika ada hal yang di pertanyakan silahkan anda tanyakan dengan berkomentar

or page